Berita & Artikel

Dari Diagnosis Kanker Menuju Proses Penyembuhan

Bepergian dari Bangladesh untuk pengobatan, Mohammad Ali Khan menemukan kenyamanan dalam tim medis yang membuatnya merasa seperti di rumah.
Pria ramah dan murah senyum dalam balutan panjabi putih bersih (pakaian tradisional khas Bangladesh) ini tampak sangat berbeda dari sosok pendiam dan tegang yang tiba di Singapura untuk menjalani pengobatan kanker lambung bagian atas stadium 3.
Sosok itu — yang kini sehat dan ceria di usia 51 tahun — adalah Mohammad Ali Khan pada November 2019. Sebagai seorang pengusaha di industri garmen Bangladesh, ia mulai curiga ada yang tidak beres dengan kesehatannya ketika nafsu makannya hilang dan demamnya terus kambuh. “Dokter pertama yang saya temui mengatakan ini bukan masalah serius dan memberi saya obat untuk gangguan lambung,” kenangnya. “Tapi saya tetap merasa tidak enak badan, jadi setelah tiga atau empat bulan, saya memutuskan ke dokter lain yang menyarankan endoskopi.”
Hasil endoskopi dan biopsi selanjutnya menunjukkan adanya tumor ganas besar di lambung yang menjalar ke kerongkongan. Terkejut dan merasa kewalahan, Ali pun berserah diri dalam doa dan memperbanyak sedekah, mempersiapkan diri untuk segala kemungkinan terburuk.
Keluarganya juga sangat terpukul. Lima saudara laki-laki dan tiga saudara perempuannya bergabung dengan sang ibu, istri, dan anak-anaknya di rumah untuk berdoa bersama. Dalam salah satu pertemuan keluarga itu, sang kakak tertua menyarankan untuk mencari pengobatan di Singapura.
Didorong oleh harapan, Ali memberanikan diri untuk mengajukan visa yang disetujui hanya dalam tujuh hari. Sebulan kemudian, ia pun tiba di Singapura, berkonsultasi dengan seorang ahli bedah, dan keesokan harinya bertemu dengan ahli onkologi medis.
Hal-Hal Kecil yang Bermakna
Rencana pengobatan meliputi delapan siklus kemoterapi dan operasi pengangkatan tumor. Ali terkesan dengan dokter-dokternya yang menunjukkan perhatian melalui tindakan-tindakan kecil namun bermakna.
Contohnya, saat konsultasi pertama, ia datang bersama tiga anggota keluarga tetapi hanya ada dua kursi. "Dokter tidak berkata apa-apa — beliau mempersilakan saya duduk lalu mengambil kursi tambahan dari ruangan sebelah untuk kerabat saya," ungkapnya. "Dokter di tempat lain mungkin akan menekan bel untuk memanggil perawat. Tapi beliau sangat bersahaja."
Perawatan Lembut yang Membekas di Hati
Pak Ali menambahkan bahwa ia sangat tersentuh oleh kelembutan dan kepedulian yang ia terima dari tim medis. Para perawat dengan penuh kehati-hatian memandikannya dengan spons setelah operasi, dan petugas laboratorium mengambil darah dengan begitu terampil hingga nyaris tanpa rasa sakit.
Seorang penerjemah yang mendampingi Pak Ali saat pertama kali datang mengenang pertemuan itu. Ia datang bersama saudara kandung, keponakan, dan keponakan-keponakannya yang turut menemaninya dalam perjalanan. “Keluarga mereka duduk di klinik dengan wajah muram, dan Pak Ali begitu tertutup hingga tidak mengucapkan sepatah kata pun sepanjang hari,” kenangnya. “Namun perlahan, ia mulai terbuka pada saya karena saya mendampingi mereka di setiap janji temu dengan dokter.” Penerjemah itu menjadi tempat curhat ketika Pak Ali ingin mencurahkan kekhawatirannya, dan membantu menguatkan semangatnya. Seiring waktu, hubungan mereka menjadi begitu dekat, hingga kini ia dan keluarganya masih menjalin komunikasi sebagai teman.
“Perhatian dan kebaikan hati semua orang di rumah sakit membuat hati saya hangat,” ujar Pak Ali. “Beginilah seharusnya setiap pasien dirawat. Hanya dengan sikap peduli dan ramah dari tim medis, Anda sudah merasa setengah sembuh.”
Menghadapi Tantangan dengan Keberanian
Selama empat siklus pertama kemoterapinya, Pak Ali bolak-balik antara Singapura dan Bangladesh setiap 15 hari sebelum akhirnya menjalani operasi pada Januari 2020. Setelah masa pemulihan, ia kembali ke kampung halamannya, namun kemudian datang lagi ke Singapura untuk dua siklus kemoterapi tambahan.
Namun, pembatasan perjalanan akibat pandemi COVID-19 membuatnya tidak bisa kembali ke Singapura untuk dua siklus terakhir bila ia pulang ke Bangladesh. Karena ketidakpastian berapa lama pembatasan itu akan berlangsung, Pak Ali memutuskan untuk pulang. Dokter onkologinya pun mengatur agar dua siklus terakhir kemoterapi dijalankan di Bangladesh, dan menyetujui regimen yang setara dengan obat-obatan yang tersedia secara lokal.
Selama pandemi, sang dokter tetap memantau perkembangan kesehatannya dengan cermat. Tahun lalu, saat sedang berkunjung ke Bangladesh, sang onkologis bahkan menyempatkan diri bertemu dengan Pak Ali dan keluarganya secara langsung.
“Anak saya sangat senang bisa ngobrol tentang pengobatan saya dengan dokter, dan beliau meyakinkan kami bahwa kemungkinan kanker ini kambuh kembali sangat kecil begitu saya melewati lima tahun,” kata Pak Ali.
Kini telah dinyatakan bebas kanker, ia bersyukur atas semua dukungan yang ia terima — dari keluarga dan sahabat yang selalu mendoakan serta merawatnya, hingga tim medis di Singapura yang memberinya harapan dan semangat hidup.
“Perlakuan yang saya terima di Singapura, dengan keramahan dan kehangatan yang tulus — saya masih ingat setiap detailnya, seperti adegan dalam film yang terus terulang di kepala saya,”
Mr. Mohammad Ali Khan, mengenang perjalanan pengobatan kankernya dari Bangladesh ke Singapura
DIPOSTING DI | Dekat dan Pribadi |
LABEL | kanker lambung |
BACA SELENGKAPNYA TENTANG | Kanker Lambung |
DITERBITKAN | 01 Juli 2025 |